
Telegraf Dikuasai Jepang, Kabar Kemerdekaan Terlambat
SEMUA Tahu kalau Gorontalo Merdeka tiga tahun sebelum Republik ini membacakan Proklamasi kemerdekaan di Jakarta, 17 Agustus 64 tahun lalu. Tahun 1942, Rakyat Gorontalo sudah bebas mengibarkan Merah Putih, Tapi begitu, Gorontalo tetap komitmen untuk bersatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak memilih mendirikan negara sendiri. Kabar kalau NKRI telah Merdeka seluruhnya diketahui beberapa pekan kemudian
Jitro Paputungan / Gorontalo
"Kita bangsa Indonesia yang berada di sini(Gorontalo) sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya." Itulah petikan pidato Pahlawan Nasional Alm, H.Nani Wartabone pada 23 Januari 1942. Pidato itu merupakan Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ada di Gorontalo, konon pidato tersebut dibacakan di lapangan Taruna Remaja kala itu, tapi ada juga yang menyebut kalau pidato tersebut diucapkan di halamana Kantor Telepon dan Telegraf (saat ini Kantor POS Gorontalo).
Dengan menyebut kalau bendera adalah Merah Putih dan Lagu Kebangsaan adalah Indonesia raya, maka terlihat jelas komintmen Pahlawan Nasional Alm,H.Nani Wartabone yang menjadi motor pergerakan waktu itu untuk tetap menyatu dengan NKRI. Semangat H.Nani Wartabone ini termotivasi saat mengikuti deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928 di Surabaya. Waktu itu H.Nani Wartabone menjadi pelajar di MULO Praban Surabaya dan banyak berteman dengan tokoh-tokoh nasional lainya, seperti Bung Tomo, Jendral Sudirman termasuk Ir. Soekarno. "Sekembalinya dari Surabaya, beliau langsung menggalang semua tokoh pemuda di Goorontalo dan ditanamkan jiwa patriotisme untuk meraih kemerdekaan dari Belanda," cerita Yos Wartabone, salah satu putra H.Nani Wartabone ketika ditemui Gorontalo Post, (17/8) pada kediamanya di Suwawa, Kabupatan Bone Bolango. Kediaman Yos Wartabone merupakan kediaman H.Nani Wartabone dan menjadi pusat gerakan melawan penjajah kala itu.
Yos Wartabone menceritakan, kalau H.Nani Wartabone hobi mendengar siaran radio International, sehingga pergelakan politik dunia selalu dikatahui, termasuk mulai melemahnya power Sekutu (termasuk Belanda) dalam perang dunia II. Kesempatan itu yang kemudian digunakan H.Nani Wartabone dan sujumlah rekan-rekanya untuk melawan Belanda. H.Nani Wartabone sudah memperhitungkan kalau Belanda pasti akan kalah dalam perang tersebut, dan pengaruhnya di Indonesia termasuk di Gorontalo juga akan melemah.
Dini hari pada 23 Januari 1942, H.Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo, mengepung Kota Gorontalo yang dimulai dari kampung-kampung pinggiran Kota Gorontalo seperti, Tamalate, Kabila dan Suwawa. Mereka menangkap pejabat Belanda di Gorontalo termasuk Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan, para pejabat Belanda ini kemudian dimasukan dalam penjara. "Di Penjara lama (saat ini Gedung Belle Li Mbui) dan yang lain disuruh kerja seperti sapu jalan," ungkap Yos yang saat ditemui menggunakan kaos merah garis berkerah.
Setelah penangkapan barulah peristiwa 23 Januari berupa pidato 'kemerdekaan' Gorontalo terucap, waktu itu tepat pukul 10 pagi. Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai parlemen saat itu, parlemen ini juga dinamakan komisi 12 yang didalamnya adalah pemimpin Partai Politik. Setelah itu, 4 hari berikut, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa. Dengan menekankan untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.
Tidak lama setelah itu, 26 Februari 1942, Jepang masuk ke Gorontalo,
sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manado berlabuh di pelabuhan Gorontalo. Kedatangan Jepang ini disambut baik oleh Nani Wartabone, bahkan Temey Jonu (nama lain Nani Wartabone) saat itu turut menjemput pasukan Jepang di pelabuhan. Jepang yang saat itu lagi sumbringah karena baru saja mengalahkan Sekutu, dianggap akan membawa perubahan di Indonesia termasuk Gorontalo karena sama-sama Asia. Nani Wartabone sendiri berharap Jepang dapat membantu PPPG. Semuanya berjalan seperti harapan, Gorontalo (Indonesia) dan Jepang berteman. "Bahkan bendera Hino Maru (Jepang) dan Merah Putih dikibarkan bersama-sama," ungkap Yos. Kebersamaan ini tidak berlangsung lama, sebab setelah yakin menguasai Gorontalo, Jepang berkhianat dengan melarang Merah Putih berkibar dan menuntut warga Gorontalo tunduk pada mereka.
Kontan, hal ini mendapat penolakan dari Nani Wartabone. Tapi apa daya, saat itu Nani Wartabone tidak kuasa melawan Jepang. "Sehinga ia memilih pulang ke Suwawa dan hidup dengan bertani," kata Yos. Sikap Nani Wartabone ini kemudian mendapat penolakan rakyat. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.
Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 desember 1943 dan dibawah ke Manado akibat fitnah tersbut. Di Manado Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan seperti selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak. Setelah bebas, Nani Wartabone kemudain kembali bergerak untuk mengalahkan Jepang, bahkan setelah di Proklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, prajurit Jepang masih tetap ada, walau sebetulnya saat itu Jepang juga telah kalah dari sekutu. Jepang masih menguasai sistem telekomunikasi di Gorontalo, seperti telepon dan telegraf. Akibatnya kabar kemerdekaan RI lambat diketahui rakyat Gorontalo. Indformasi kemerdekaan ini diketahui nanti tanggal 28 Agustus 1945 setelah Nani Wartabone kembali merebut kantor Telepon dan Telegraf. Setelah itu, Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai lembaga legislatif tepat 1 September, Dewan ini beranggotakan 17 orang termasuk Mantan Menteri Kehakiman RI G. Maengkom Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok Muhammad Ali.
Yos Wartabone mengatakan, semangat Nani Wartabone tidak sampai pada Proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus, tapi terus berlanjut termasuk menentang VOC, hingga kemudian di penjara di Cipinang dan Morotai. Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), dan melawan PRRI/PERMESTA tahun 1957. Alm. Nani Wartabone yang lahir 30 April 1907, pada tahun 2003 mendapat anugerah Pahlawan Nasional. "Kita harapkan generasi saat ini dan yang akan datang agar lebih inovatif lagi mengembangkan SDM, karena kita tidak lagi berperang dengan senjata," harap Yos, termasuk keinginan untuk Pemerintah agar membuat buku tentang perjuangan rakyat Gorontalo dan diajarkan pada siswa di Sekolah. ###